I. PENGERTIAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa
Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud
bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan
terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu
golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai
rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana
'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan
dan juga dilakukan oleh para sahabatku.
Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang
selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh
Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar
kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan
pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau
Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi
Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami nash dan
bagaimana mentafsirkannya).
Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah
ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru
muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan
lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi)
oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang
pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh
yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
II. RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA
Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama,
yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam
yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian
menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.
Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun
perbedaan itu sebatas pada penerapan dari prinsip-prinsip yang
disepakati karena adanya perbedaan dalam penafsiran sebagaimana
dijelaskan dalam kitab Ushulul Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang
terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan
keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang
disepakati sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda
Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila
seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benarmaka ia mendapatkan
dua pahala, tetapi apabila dia salah maka ia hanya mendapatkan satu
pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun
terjadi perbedaan diantara mereka, tidak boleh saling mengkafirkan,
memfasikkan atau membid'ahkan.
Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan
Manhajul jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para sahabat dan
tabi'in juga tidak boleh secara serta merta mengkafirkan mereka
sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi
sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau Ahlil
Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari
sebagaimana pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan
Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.
III. KERANGKA PENILAIAN ASWAJA
Ditinjau dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah
Wal Jama'ah terdapat hal-hal yang disepakati dan yang diperselisihkan.
Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari disepakati kebenarannya dan
disepakati penyimpangannya.
Beberapa hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain bahwa;
1. Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para sahabat/Ulama)
2. Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
3. Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
4. Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan
keburukan termasuk segala perbuatan manusia adalah kewhendak Allah, dan
segala sesuatu yang terjadi sebab Qodlo' dan Qodharnya Allah.
5. Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang
muslim menjadi kafir sepanjang tidak mengingkari apa yang telah
diwajibkan oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang diharamkan-Nya.
6 Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk
juga meyakini bahwa kekhalifahan setelah Rasulillah secara
berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin Khattab,
Ustman Bin "Affan dan Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
7. Bahwa Amar ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim termasuk kepada para penguasa.
Hal-hal yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
1. Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab
kemudian menyatakan bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Thalib memperoleh
"Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian) seperti wahyu, 'ismah dan
lain-lain.
2. Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan
keluar dari Islam seperti yang dianut oleh kalangan Khawarij, bahkan
mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai dengan Mu'awiyah.
3. Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah menjadi masalah serta
tidak menodai iman. Pendapat ini merupakan pendapat kaum murji'ah dan
Abahiyyun.
4. Melakukan penta'wilan terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang
tidak bersumber pada kaidah-kaidah Bahasa Arab yang benar. Seperti
menghilangkan sifat-sifat ilahiyyah (Ta'thil) antara lain menghilangkan
Al-Yad, Al-Istiwa', Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah
ayat suci Al-Qur'an, hanya dengan dalih untuk mensucikan Allah dari
segala bentuk penyerupaan (tasybih)
IV. PERKEMBANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Pada periode pertama, yakni periode para sahabat dan tabi'in pada
dasarnya memiliki dua kecenderungan dalam menyikapi berbagai
perkembangan pemikiran dalam merumuskan konsep-konsep keagamaan,
terutama yang menyangkut masalah Aqidah. Kelompok pertama senantiasa
berpegang teguh kepada nash Qur'an dan Hadist dan tidak mau
mendiskusikannya. Kelompok ini dipelopori oleh antara lain; Umar Bin
Khottob, 'Abdulloh Bin 'Umar, Zaid Bin Tsabit Dan lain-lain. Sedangkan
dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Sofyan Tsauri, Auza'I, Malik
Bin Anas, dan Ahmad Bin Hambal. Jika mereka menyaksiksn sekelompok orang
yang berani mendiskusikan atau memperdebatkan masalah-masalah aqidah,
mereka marah dan menyebutnya sebagai melakukan "Bid'ah Mungkarah" .
Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang memilih untuk melakukan
pembahasan dan berdiskusi untuk menghilangkan kerancuan pemahaman serta
memelihara Aqidah Islamiyah dari berbagai penyimpangan. Diantara yang
termasuk dalam kelompok ini adalah antara lain ; Ali Bin Abi Thalib,
'Abdulloh Bin 'Abbas dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in
tercatat antara lain Hasan Bashri, Abu Hanifah, Harish Al-Muhasibi dan
Abu Tsaur.
Kelompok kedua ini juga merasa terpanggil untuk menanggapi berbagai
keadaan yang dihadapi baik yaang menyangkut masalah Aqidah, Fiqh maupun
Tasawuf karena adanya kekhawatiran terhadap munculnya dua sikap yang
ekstrim. Pertama adalah kelompok yang terlampau sangat hati-hati yang
kemudian disebut sebagai "Kelompok Tafrith" Kelompok ini memahami agama
murni mengikuti Rasulillah dan para sahabatnya secara tekstual. Mereka
tidak mau memberikan ta'wil atau tafsir karena kuawatir melampaui
batas-batas yang diperbolehkan. Sedangkan yang kedua yaitu kelompok yang
menggunakan kemaslahatan dan menuruti kebutuhan perkembangan secara
berlebihan dan kelompok ini disebut dengan "kelompok Ifrath"
Dalam berbagai diskusi dan perdebatan, kelompok kedua ini tidak jarang
menggunakan dalil-dalil manthiqi (deplomasi) dan ta'wil majazi.
Pendekatan ini terpaksa dilakukan dalam rangka memelihara Aqidah dari
penyimpangan dengan menggunakan cara-cara yang dapat difahami oleh
masyarakat banyak ketika itu, namun tetap berjalan diatas manhaj sahaby
sesuai dengan anjuran Nabi dalam sebuah sabdanya : "Kallimunnas Bima
Ya'rifuhu Wada'u Yunkiruna. Aturiiduna ayyukadzibuhumuLlahu wa rasuluh"
(Bicaralah kamu dengan manusia dengan apa saja yang mereka mampu
memahaminya, dan tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Apakah kalian
mau kalau Allah dan Rasul-Nya itu dibohongkan?. Sebuah hadis marfu' yang
diriwayatkan oleh Abu Mansur Al-Dailami, atau menurut Imam Bukhari
dimauqufkan kepada Sayyidina Ali RA.
Strategi dan cara yang begitu adaptif inilah yang terus dikembangkan
oleh para pemikir Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam merespon berbagai
perkembangan sosial, agar dapat menghindari berbagai benturan antara
teks-teks agama dengan kondisi sosial masyarakat yang berubah-rubah.
Sehubungan dengan strategi ini, mengikuti sahabat bukanlah dalam arti
mengikuti secara tekstual melainkan mengikuti Manhaj atau metode
berfikirnya para sahabat. Bahkan menurut Imam Al-Qorofi, kaku terhadap
teks-teks manqulat (yang langsung dinuqil dari para sahabat) merupakan
satu bentuk kesesatan tersendiri, karena ia tidak akan mampu memahami
apa yang dikehendaki oleh Ulama-ulama Salaf..
(Al-jumud 'Alal mankulat Abadab dhalaalun Fiddiin wa Jahlun Bimaqooshidi Ulamaa'il Muslimin wa Salafil Maadhin)
V. KEBANGKITAN (AN-NAHDHAH) AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab
tetapi hanyalah Manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja yang
didalamnya masih memuat banyak alaiaran dan madzhab. Faham tersebut
sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal
ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang mendahulukan Nash
namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal
tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif,
tidak elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang
membid'ahkan berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua
aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlaq, sosial, politik, budaya
dan lain-lain.
Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa menghantarkan faham ini
diterima oleh mayoritas umat Islam khususnya di Indonesia baik mereka
itu orng yang ber ORMASkan NU, Muhammadiah, SI, Sarekat Islam maupun
yang lainnya.
Wal hasil salah satu karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu
bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi". Langkah Al-Asy'ari dalam
mengemas ASWAJA pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah
puluhan tahun mengikuti Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang
Al-As'ari dalam menyelamatkan umat Islam ketika itu. Kemudian disusul
oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid
Al-Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada
rasional juga merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu
pula usaha Al-Ghazali yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya
dibidang tasawwuf juga merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya
Ajaran ASWAJA. Hatta Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan
batasa ASWAJA sebagaimana yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya
juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat kondusif.
Bagaimana pilar-pilar pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tentang Ahli Sunnah
Wal Jama'ah? Bisa dilihat pada : kitab karangan KH. Hasyim Asy'ari yang
telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penulis (Ust. A. Zainul
Hakim,SEI.)
Minggu, 13 September 2015
Al-Imam Abdullah Al-Hadad (Shohibur Ratib Al Hadad)
Sekilas Biografi Al-Imam Abdullah Al-Hadad (Shohibur Ratib)
Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad, lahir hari Rabu, Malam Kamis tanggal 5 Bulan Syafar 1044 H di Desa Sabir di Kota Tarim, wilayah Hadhromaut, Negeri Yaman.
Nasab
Beliau adalah seorang Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shôhib Mirbath bin Ali Khôli’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shôhib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhâjir Ilallôh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqîb bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jakfar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.
Orang-tuanya
Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna.
Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-wilayah (kewalian)”.
Masa Kecil
Dari semenjak kecil begitu banyak perhatian yang beliau dapatkan dari Allah. Allah menjaga pandangan beliau dari segala apa yang diharomkan. Penglihatan lahiriah Beliau diambil oleh Allah dan diganti oleh penglihatan batin yang jauh yang lebih kuat dan berharga. Yang mana hal itu merupakan salah satu pendorong beliau lebih giat dan tekun dalam mencari cahaya Allah menuntut ilmu agama.
Pada umur 4 tahun beliau terkena penyakit cacar sehingga menyebabkannya buta. Cacat yang beliau derita telah membawa hikmah, beliau tidak bermain sebagaimana anak kecil sebayanya, beliau habiskan waktunya dengan menghapal Al-Quran, mujahaddah al-nafs (beribadah dengan tekun melawan hawa nafsu) dan mencari ilmu. Sungguh sangat mengherankan seakan-akan anak kecil ini tahu bahwa ia tidak dilahirkan untuk yang lain, tetapi untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Dakwahnya
Berkat ketekunan dan akhlakul karimah yang beliau miliki pada saat usia yang sangat dini, beliau dinobatkan oleh Allah dan guru-guru beliau sebagai da’i, yang menjadikan nama beliau harum di seluruh penjuru wilayah Hadhromaut dan mengundang datangnya para murid yang berminat besar dalam mencari ilmu. Mereka ini tidak datang hanya dari Hadhromaut tetapi juga datang dari luar Hadhromaut. Mereka datang dengan tujuan menimba ilmu, mendengar nasihat dan wejangan serta tabarukan (mencari berkah), memohon doa dari Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Di antara murid-murid senior Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah putranya, Al-Habib Hasan bin Abdullah bin Alwy Al-Haddad, Al-Habib Ahmad bin Zein bin Alwy bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, Al-Habib Ahmad bin Abdullah Ba-Faqih, Al-Habib Abdurrohman bin Abdullah Bilfaqih, dll.
Selain mengkader pakar-pakar ilmu agama, mencetak generasi unggulan yang diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kakek beliau, Rosullullah SAW, beliau juga aktif merangkum dan menyusun buku-buku nasihat dan wejangan baik dalam bentuk kitab, koresponden (surat-menyurat) atau dalam bentuk syair sehingga banyak buku-buku beliau yang terbit dan dicetak, dipelajari dan diajarkan, dibaca dan dialihbahasakan, sehingga ilmu beliau benar-benar ilmu yang bermanfaat. Tidak lupa beliau juga menyusun wirid-wirid yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat untuk agama, dunia dan akhirat, salah satunya yang agung dan terkenal adalah Rotib ini. Rotib ini disusun oleh beliau dimalam Lailatul Qodar tahun 1071 H.
Akhlaq dan Budi Pekerti
Al-Imam Al-Haddad (rahimahullah) memiliki perwatakan badan yang tinggi, berdada bidang, tidak terlalu gempal, berkulit putih, sangat berhaibah dan tidak pula di wajahnya kesan mahupun parut cacar.
Wajahnya sentiasa manis dan menggembirakan orang lain di dalam majlisnya. Ketawanya sekadar senyuman manis; apabila beliau gembira dan girang, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Majlis kendalian beliau sentiasa tenang dan penuh kehormatan sehinggakan tidak terdapat hadhirin berbicara mahupun bergerak keterlaluan bagaikan terletak seekor burung di atas kepala mereka.
Mereka yang menghadhiri ke majlis Al-Habib bagaikan terlupa kehidupan dunia bahkan terkadang Si-lapar lupa hal kelaparannya; Si-sakit hilang sakitnya; Si-demam sembuh dari demamnya. Ini dibuktikan apabila tiada seorang pun yang yang sanggup meninggalkan majlisnya.
Al-Imam sentiasa berbicara dengan orang lain menurut kadar akal mereka dan sentiasa memberi hak yang sesuai dengan taraf kedudukan masing-masing. Sehinggakan apabila dikunjungi pembesar, beliau memberi haknya sebagai pembesar; kiranya didatangi orang lemah, dilayani dengan penuh mulia dan dijaga hatinya. Apatah lagi kepada Si-miskin.
Beliau amat mencintai para penuntut ilmu dan mereka yang gemar kepada alam akhirat. Al-Habib tidak pernah jemu terhadap ahli-ahli majlisnya bahkan sentiasa diutamakan mereka dengan kaseh sayang serta penuh rahmah; tanpa melalaikan beliau dari mengingati Allah walau sedetik. Beliau pernah menegaskan “Tiada seorang pun yang berada dimajlisku mengganguku dari mengingati Allah”.
Majlis Al-Imam sentiasa dipenuhi dengan pembacaan kitab-kitab yang bermanfaat, perbincangan dalam soal keagamaan sehingga para hadhirin sama ada yang alim ataupun jahil tidak akan berbicara perkara yang mengakibatkan dosa seperti mengumpat ataupun mencaci. Bahkan tidak terdapat juga perbicaraan kosong yang tidak menghasilkan faedah. Apa yang ditutur hanyalah zikir, diskusi keagamaan, nasihat untuk muslimin, serta rayuan kepada mereka dan selainnya supaya beramal soleh. Inilah yang ditegaskan oleh beliau “Tiada seorang pun yang patut menyoal hal keduniaan atau menyebut tentangnya kerana yang demikian adalah tidak wajar; sewajibnya masa diperuntuk sepenuhnya untuk akhirat sahaja. Silalah bincang perihal keduniaan dengan selain dariku.”
Al-Habib (rahimahullah) adalah contoh bagi insan dalam soal perbicaraan mahupun amalan; mencerminkan akhlak junjungan mulia dan tabiat Al-Muhammadiah yang mengalir dalam hidup beliau. Beliau memiliki semangat yang tinggi dan azam yang kuat dalam hal keagamaan. Al-Imam juga sentiasa menangani sebarang urusan dengan penuh keadilan dengan menghindari pujian atau keutamaan dari oramg lain; bahkan beliau sentiasa mempercepatkan segala tugasnya tanpa membuang masa. Beliau bersifat mulia dan pemurah lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan. Ciri inilah menyebabkan ramai orang dari pelusuk kampung sering berbuka puasa bersama beliau di rumahnya dengan hidangan yang tidak pernah putus semata mata mencari barakah Al-Imam.
Al-Imam menyatakan “Sesuap makanan yang dihadiahkan atau disedekahkan mampu menolak kesengsaraan”. Katanya lagi “Kiranya ditangan kita ada kemampuan, nescaya segala keperluan fakir miskin dipenuhi, sesungguhnya permulaan agama ini tidak akan terdiri melainkan dengan kelemahan Muslimin”.
Beliau adalah seorang yang memiliki hati yang amat suci, sentiasa sabar terhadap sikap buruk dari yang selainnya serta tidak pernah merasa marah. Kalaupun ia memarahi, bukan kerana peribadi seseorang tetapi sebab amalan mungkarnya yang telah membuat Al-Imam benar-benar marah. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Habib “Adapun segala kesalahan berkait dengan hak aku, aku telah maafkan; tetapi hak Allah sesungguhnya tidak akan dimaafkan”.
Al-Imam amatlah menegah dari mendoa’ agar keburukan dilanda orang yang menzalimi mereka. Sehingga bersama beliau terdapat seorang pembantu yang terkadangkala melakukan kesilapan yang boleh menyebabkan kemarahan Al-Imam. Namun beliau menahan marahnya; bahkan kepada si-Pembantu itu diberi hadiah oleh Al-Habib untuk meredakan rasa marah beliau sehinggakan pembantunya berkata: “alangkah baiknya jika Al-Imam sentiasa memarahiku”.
Segala pengurusan hidupnya berlandaskan sunnah; kehidupannya penuh dengan keilmuan ditambah pula dengan sifat wara’. Apabila beliau memberi upah dan sewa sentiasa dengan jumlah yang lebih dari asal tanpa diminta. Kesenangannya adalah membina dan mengimarahkan masjid. Di Nuwaidarah dibinanya masjid bernama Al-Awwabin begitu juga, Masjid Ba-Alawi di Seiyoun, Masjid Al-Abrar di As-Sabir, Masjid Al-Fatah di Al-Hawi, Masjid Al-Abdal di Shibam, Masjid Al-Asrar di Madudah dan banyak lagi.
Diantara sifat Al-Imam termasuk tawaadu’ (merendah diri). Ini terselah pada kata-katanya, syair-syairnya dan tulisannya. Al-Imam pernah mengutusi Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Aidarus. “Doailah untuk saudaramu ini yang lemah semoga diampuni Allah”
Wafatnya
Beliau wafat hari Senin, malam Selasa, tanggal 7 Dhul-Qo’dah 1132 H, dalam usia 98 tahun. Beliau disemayamkan di pemakaman Zambal, di Kota Tarim, Hadhromaut, Yaman. Semoga Allah melimpahkan rohmat-Nya kepada beliau juga kita yang ditinggalkannya.
Habib Abdullah Al Haddad dimata Para Ulama
Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat di zaman ini (abad 12 H)”.
Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy”.
Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”
Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka’at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah (fath) dari Allah sejak masa kecilnya”.
Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).
Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.
Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.”
Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya.”
Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku ber-ta’alluq kepadanya.”
Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini. ”
Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”
Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”
Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya, bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad ra.”
Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”
Karya-karyanya
Beliau meninggalkan kepada umat Islam khazanah ilmu yang banyak, yang tidak ternilai, melalui kitab-kitab dan syair-syair karangan beliau. Antaranya ialah:
1. An-Nashaa’ih Ad-Dinniyah Wal-Washaya Al-Imaniyah.
2. Ad-Dakwah At Tammah.
3. Risalah Al-Mudzakarah Ma’al-Ikhwan Wal-Muhibbin.
4. Al Fushuul Al-Ilmiyah.
5. Al-Hikam.
6. Risalah Adab Sulukil-Murid.
7. Sabilul Iddikar.
8. Risalah Al-Mu’awanah.
9. Ittihafus-Sa’il Bi-Ajwibatil-Masa’il.
10. Ad-Durrul Manzhum Al-Jami’i Lil-Hikam Wal-Ulum.*
Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad, lahir hari Rabu, Malam Kamis tanggal 5 Bulan Syafar 1044 H di Desa Sabir di Kota Tarim, wilayah Hadhromaut, Negeri Yaman.
Nasab
Beliau adalah seorang Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shôhib Mirbath bin Ali Khôli’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shôhib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhâjir Ilallôh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqîb bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jakfar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.
Orang-tuanya
Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna.
Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-wilayah (kewalian)”.
Masa Kecil
Dari semenjak kecil begitu banyak perhatian yang beliau dapatkan dari Allah. Allah menjaga pandangan beliau dari segala apa yang diharomkan. Penglihatan lahiriah Beliau diambil oleh Allah dan diganti oleh penglihatan batin yang jauh yang lebih kuat dan berharga. Yang mana hal itu merupakan salah satu pendorong beliau lebih giat dan tekun dalam mencari cahaya Allah menuntut ilmu agama.
Pada umur 4 tahun beliau terkena penyakit cacar sehingga menyebabkannya buta. Cacat yang beliau derita telah membawa hikmah, beliau tidak bermain sebagaimana anak kecil sebayanya, beliau habiskan waktunya dengan menghapal Al-Quran, mujahaddah al-nafs (beribadah dengan tekun melawan hawa nafsu) dan mencari ilmu. Sungguh sangat mengherankan seakan-akan anak kecil ini tahu bahwa ia tidak dilahirkan untuk yang lain, tetapi untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Dakwahnya
Berkat ketekunan dan akhlakul karimah yang beliau miliki pada saat usia yang sangat dini, beliau dinobatkan oleh Allah dan guru-guru beliau sebagai da’i, yang menjadikan nama beliau harum di seluruh penjuru wilayah Hadhromaut dan mengundang datangnya para murid yang berminat besar dalam mencari ilmu. Mereka ini tidak datang hanya dari Hadhromaut tetapi juga datang dari luar Hadhromaut. Mereka datang dengan tujuan menimba ilmu, mendengar nasihat dan wejangan serta tabarukan (mencari berkah), memohon doa dari Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Di antara murid-murid senior Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah putranya, Al-Habib Hasan bin Abdullah bin Alwy Al-Haddad, Al-Habib Ahmad bin Zein bin Alwy bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, Al-Habib Ahmad bin Abdullah Ba-Faqih, Al-Habib Abdurrohman bin Abdullah Bilfaqih, dll.
Selain mengkader pakar-pakar ilmu agama, mencetak generasi unggulan yang diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kakek beliau, Rosullullah SAW, beliau juga aktif merangkum dan menyusun buku-buku nasihat dan wejangan baik dalam bentuk kitab, koresponden (surat-menyurat) atau dalam bentuk syair sehingga banyak buku-buku beliau yang terbit dan dicetak, dipelajari dan diajarkan, dibaca dan dialihbahasakan, sehingga ilmu beliau benar-benar ilmu yang bermanfaat. Tidak lupa beliau juga menyusun wirid-wirid yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat untuk agama, dunia dan akhirat, salah satunya yang agung dan terkenal adalah Rotib ini. Rotib ini disusun oleh beliau dimalam Lailatul Qodar tahun 1071 H.
Akhlaq dan Budi Pekerti
Al-Imam Al-Haddad (rahimahullah) memiliki perwatakan badan yang tinggi, berdada bidang, tidak terlalu gempal, berkulit putih, sangat berhaibah dan tidak pula di wajahnya kesan mahupun parut cacar.
Wajahnya sentiasa manis dan menggembirakan orang lain di dalam majlisnya. Ketawanya sekadar senyuman manis; apabila beliau gembira dan girang, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Majlis kendalian beliau sentiasa tenang dan penuh kehormatan sehinggakan tidak terdapat hadhirin berbicara mahupun bergerak keterlaluan bagaikan terletak seekor burung di atas kepala mereka.
Mereka yang menghadhiri ke majlis Al-Habib bagaikan terlupa kehidupan dunia bahkan terkadang Si-lapar lupa hal kelaparannya; Si-sakit hilang sakitnya; Si-demam sembuh dari demamnya. Ini dibuktikan apabila tiada seorang pun yang yang sanggup meninggalkan majlisnya.
Al-Imam sentiasa berbicara dengan orang lain menurut kadar akal mereka dan sentiasa memberi hak yang sesuai dengan taraf kedudukan masing-masing. Sehinggakan apabila dikunjungi pembesar, beliau memberi haknya sebagai pembesar; kiranya didatangi orang lemah, dilayani dengan penuh mulia dan dijaga hatinya. Apatah lagi kepada Si-miskin.
Beliau amat mencintai para penuntut ilmu dan mereka yang gemar kepada alam akhirat. Al-Habib tidak pernah jemu terhadap ahli-ahli majlisnya bahkan sentiasa diutamakan mereka dengan kaseh sayang serta penuh rahmah; tanpa melalaikan beliau dari mengingati Allah walau sedetik. Beliau pernah menegaskan “Tiada seorang pun yang berada dimajlisku mengganguku dari mengingati Allah”.
Majlis Al-Imam sentiasa dipenuhi dengan pembacaan kitab-kitab yang bermanfaat, perbincangan dalam soal keagamaan sehingga para hadhirin sama ada yang alim ataupun jahil tidak akan berbicara perkara yang mengakibatkan dosa seperti mengumpat ataupun mencaci. Bahkan tidak terdapat juga perbicaraan kosong yang tidak menghasilkan faedah. Apa yang ditutur hanyalah zikir, diskusi keagamaan, nasihat untuk muslimin, serta rayuan kepada mereka dan selainnya supaya beramal soleh. Inilah yang ditegaskan oleh beliau “Tiada seorang pun yang patut menyoal hal keduniaan atau menyebut tentangnya kerana yang demikian adalah tidak wajar; sewajibnya masa diperuntuk sepenuhnya untuk akhirat sahaja. Silalah bincang perihal keduniaan dengan selain dariku.”
Al-Habib (rahimahullah) adalah contoh bagi insan dalam soal perbicaraan mahupun amalan; mencerminkan akhlak junjungan mulia dan tabiat Al-Muhammadiah yang mengalir dalam hidup beliau. Beliau memiliki semangat yang tinggi dan azam yang kuat dalam hal keagamaan. Al-Imam juga sentiasa menangani sebarang urusan dengan penuh keadilan dengan menghindari pujian atau keutamaan dari oramg lain; bahkan beliau sentiasa mempercepatkan segala tugasnya tanpa membuang masa. Beliau bersifat mulia dan pemurah lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan. Ciri inilah menyebabkan ramai orang dari pelusuk kampung sering berbuka puasa bersama beliau di rumahnya dengan hidangan yang tidak pernah putus semata mata mencari barakah Al-Imam.
Al-Imam menyatakan “Sesuap makanan yang dihadiahkan atau disedekahkan mampu menolak kesengsaraan”. Katanya lagi “Kiranya ditangan kita ada kemampuan, nescaya segala keperluan fakir miskin dipenuhi, sesungguhnya permulaan agama ini tidak akan terdiri melainkan dengan kelemahan Muslimin”.
Beliau adalah seorang yang memiliki hati yang amat suci, sentiasa sabar terhadap sikap buruk dari yang selainnya serta tidak pernah merasa marah. Kalaupun ia memarahi, bukan kerana peribadi seseorang tetapi sebab amalan mungkarnya yang telah membuat Al-Imam benar-benar marah. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Habib “Adapun segala kesalahan berkait dengan hak aku, aku telah maafkan; tetapi hak Allah sesungguhnya tidak akan dimaafkan”.
Al-Imam amatlah menegah dari mendoa’ agar keburukan dilanda orang yang menzalimi mereka. Sehingga bersama beliau terdapat seorang pembantu yang terkadangkala melakukan kesilapan yang boleh menyebabkan kemarahan Al-Imam. Namun beliau menahan marahnya; bahkan kepada si-Pembantu itu diberi hadiah oleh Al-Habib untuk meredakan rasa marah beliau sehinggakan pembantunya berkata: “alangkah baiknya jika Al-Imam sentiasa memarahiku”.
Segala pengurusan hidupnya berlandaskan sunnah; kehidupannya penuh dengan keilmuan ditambah pula dengan sifat wara’. Apabila beliau memberi upah dan sewa sentiasa dengan jumlah yang lebih dari asal tanpa diminta. Kesenangannya adalah membina dan mengimarahkan masjid. Di Nuwaidarah dibinanya masjid bernama Al-Awwabin begitu juga, Masjid Ba-Alawi di Seiyoun, Masjid Al-Abrar di As-Sabir, Masjid Al-Fatah di Al-Hawi, Masjid Al-Abdal di Shibam, Masjid Al-Asrar di Madudah dan banyak lagi.
Diantara sifat Al-Imam termasuk tawaadu’ (merendah diri). Ini terselah pada kata-katanya, syair-syairnya dan tulisannya. Al-Imam pernah mengutusi Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Aidarus. “Doailah untuk saudaramu ini yang lemah semoga diampuni Allah”
Wafatnya
Beliau wafat hari Senin, malam Selasa, tanggal 7 Dhul-Qo’dah 1132 H, dalam usia 98 tahun. Beliau disemayamkan di pemakaman Zambal, di Kota Tarim, Hadhromaut, Yaman. Semoga Allah melimpahkan rohmat-Nya kepada beliau juga kita yang ditinggalkannya.
Habib Abdullah Al Haddad dimata Para Ulama
Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat di zaman ini (abad 12 H)”.
Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy”.
Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”
Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka’at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah (fath) dari Allah sejak masa kecilnya”.
Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).
Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.
Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.”
Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya.”
Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku ber-ta’alluq kepadanya.”
Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini. ”
Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”
Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”
Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya, bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad ra.”
Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”
Karya-karyanya
Beliau meninggalkan kepada umat Islam khazanah ilmu yang banyak, yang tidak ternilai, melalui kitab-kitab dan syair-syair karangan beliau. Antaranya ialah:
1. An-Nashaa’ih Ad-Dinniyah Wal-Washaya Al-Imaniyah.
2. Ad-Dakwah At Tammah.
3. Risalah Al-Mudzakarah Ma’al-Ikhwan Wal-Muhibbin.
4. Al Fushuul Al-Ilmiyah.
5. Al-Hikam.
6. Risalah Adab Sulukil-Murid.
7. Sabilul Iddikar.
8. Risalah Al-Mu’awanah.
9. Ittihafus-Sa’il Bi-Ajwibatil-Masa’il.
10. Ad-Durrul Manzhum Al-Jami’i Lil-Hikam Wal-Ulum.*
Al Habib Ahmad Bin Alwi Al Haddad (Habib Kuncung)
Sang Khoriqul a’dah (Wali Majdub)
Tak jauh dari Mall Kalibata terdapat maqom Seorang waliyulloh, Habib Ahmad Bin alwi Al hadad yang dikenal dengan Habib Kuncung. Beliau adalah seorang ulama yang memilki prilaku ganjil (khoriqul a’dah) yaitu diluar kebiasaan manusia umumnya.beliau adalah waliyullah yang sengaja ditutup kewaliannya agar orang biasa tidak menyadari kelebihannya karena di kawatirkan umat nabi Muhammad terlalu mencintainya dan agar tidak terlena dengan karamah nya tersebut maka allah swt menutup karamahnya tersebut dan hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat semua karomah Beliau.Habib Kuncung juga terkenal sebagai ahli Darkah maksudnya disaat sesorang dalam kesulitan dan sangat memerlukan bantuan beliau muncul dengan tiba - tiba .Lahir di Gurfha HadroMaut Tarim tanggal 26 sya’ban Tahun 1254 H, beliau berguru kepada Ayahandanya sendiri Habib alwi Al Hadad dan juga belajar kepada Al A’lamah Habib Ali bin Husein Al Hadad, Habib Abdurrahman Bin Abdulloh Al Habsyi dan Habib Abdulloh bin Muchsin al athos. Sebagaimana kebiasaan Ulama-ulama dari Hadromaut untuk melakukan perjalanan Ritual Dakwah ke berbagai negara termasuk ke Indonesia. Habib ahmad bin Alwi al hadad melakukan ritual dakwah ke Indonesia pertama kali singgah di Kupang dan menurut cerita Beliau Menetap beberapa tahun disana dan menikah dengan wanita bernama Syarifah Raguan Al Habsyi dan di karunai anak bernama Habib Muhammad Bin Ahmad Al Hadad. Selanjutnya Habib Ahmad bin Alwi al hadad melanjutkan dakwahnya ke pulau jawa dan menetap di Kali Bata hingga wafatnya.
Gelar Habib Kuncung yang diberikan kepada Habib Ahmad bin Alwi Al hadad yang saya tahu karena kebiasaan Beliau mengenakan Kopiah yang menjulang keatas (Muncung), dan Prilaku beliau yang terlihat aneh dari kebiasaan orang pada umumnya terutama dalam hal berpakaian. Habib Kuncung Wafat dalam usia 93 tahun tepatnya tanggal 29 sya,ban 1345 H atau sekitar tahun 1926 M dan di Maqomkan di Pemakaman Keluarga Al Hadad di Kalibata jakarta selatan.
Sekilas Riwayat Al Habib Ahmad Bin Alwi Al Haddad (Habib Kuncung)
Al Habib Ahmad Bin Alwi Al Haddad adalah
seorang WaliAllah yang memiliki khoriqul a’dah yaitu diluar kebiasaan
manusia umumnya atau disebut dalam bahasa kewalian “Majdub” atau disebut
dengan ahli Darkah maksudnya disaat orang dalam kesulitan dan sangat
memerlukan bantuan maka beliau muncul dengan tiba-tiba. Habib Kuncung
lahir di Gurfha, Hadramaut, Tarim pada tanggal 26 syaban 1254 H dan
beliau belajar kepada ayahanda beliau sendiri Al habib Alwi Al Haddad
dan belajar pula kepada Al habib Ali Bin Husein Al Hadad, Hadramaut, Al
Habib Abdurrahman Bin Abdullah Al Habsyi dan kepada Habib keramat Empang
Bogor, Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Attas. Karena sering memakai
kopyah atau topi yang menjulang keatas (kuncung; bahasa Jawa) maka
beliau digelari Habib Kuncung.
Dikala beliau dewasa beliau didatangi
oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam yang akhirnya beliau ziarah
ke Madinah, selanjutnya dalam bisyarah beliau disuruh ke Pulau Jawa oleh
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Habib ( Kuncung ) Ahmad bin Alwi
Al-Haddad termasuk keluarga Nabi saw, keturunan ke 40. secara garis
besar kehidupan Habib Kuncung sangat misterius. Tak ada yang mengetahui
kapan beliau lahir. Habib Kuncung hanya diketahui lahir di Hadramaut,
sebuah daerah di Yaman.
Identitas yang melekat pada dirinya
adalah pedagang. Berdagang memang sudah beliau dilakukan saat beliau
masih muda. Posisi inilah yang membuatnya mengenal wilayah Asia tenggara
saat beliau berdagang sampai ke Singapura. Habib Kuncung pedagang yang
lumayan sukses di Singapura. “Beliau sampai memiliki peninggalan harta
benda yang di tahun 20an lalu senilai dengan harga 30 rumah disini.”
Ujar Habib Salim bin Ahmad, salah satu kerabatnya di Rawajati. Mobilitas
dirinya sebagai pedagang juga yang membuatnya menginjak Tanah Bugis dan
memperoleh istri disana. Namun tak ada yang mengenal siapa istri Habib
Kuncung itu. Dari perkawinan tersebut diketahui lahir seorang putra
bernama Muhammad yang kemudian mewarisi harta peninggalan Habib Kuncung
di Singapura. Namun sayang Habib Muhammad kemudian meninggal dunia
hingga terputuslah garis keturunan Habib Kuncung.
Habib Kuncung selalu hidup
berpindah-pindah. Tak ada yang dapat memastikan Habib Kuncung menetap
disatu tempat tertentu. Beliau hadir dan pergi sesukanya. Hanya, beliau
memiliki tempat singgah di Kampung Melayu, yakni rumah seorang pegawai
gubernuran Batavia yang menjadi temannya.
Habib Kuncung sering muncul di Majelis
ulama kalangan Habaib di Jakarta yang dipusatkan di Kediaman Habib Ali
Al-Habsyi Kwitang. Namun beliau dikenal masyarakat Bogor, karena banyak
menghabiskan waktu disana. Sebutan “kuncung” yang menjadi gelarnya juga
berasal dari Bogor. Masyarakat disana menyebutnya seperti itu karena
beliau selalu mengenakan topi kuncung. Hidupnya yang bergaya pengembara
membuat tak banyak orang mengetahui sejarahnya secara persis. Beliau
hadir dan dikenal masyarakat sebagai seorang ulama yang misterius tapi
berilmu tinggi. Banyak orang yang apabila mengalami masalah berat
menghadap kepadanya dan meminta nasihat maupun fatwa, jika kebetulan
dapat bertemu, Habib Kuncung pasti memberikan nasihat yang merujuk pada
Al-Qur’an dan Hadits.
Beliau menunjuki pokok-pokok penyelesaian
beserta literaturnya dan kemudian menyuruh si peminta fatwa mengecek
serta mengkajinya sendiri. Jika para ulama berkumpul dan membaca sebuah
kitab, selalu Habib Kuncung yang membaca kitab itu, karena suaranya yang
bagus serta penguasaan bahasa arabnya yang tinggi. Belakangan, Tapi ini
diyakini merupakan hal yang disengaja karena beliau tak ingin
dilebih-lebihkan orang. Saat itu beliau memang sudah mulai menunjukkan
beberapa “kelebihannya”. Pernah satu ketika para ulama berkumpul di
Kwitang. Mereka ingin melakukan perjalanan ke Cirebon memenuhi sebuah
undangan. Saat itu Habib Kuncung agak terlupakan hingga tidak ikut
rombongan ke stasiun. Para ulama berangkat pada pukul 7.30 pagi.
Sesampainya di stasiun Cirebon, ternyata para ulama menemukan Habib
Kuncung sudah disana. Ketika ditanya, beliau mengaku sudah berada di
stasiun itu sejak pukul 7.30. rupanya ketika rombongan ulama berangkat
ke stasiun, naik kereta menuju Cirebon, Habib Kuncung juga berangkat ke
Cirebon tapi dengan caranya sendiri.
Pernah pula suatu ketika Habib Kuncung
membakar sampah dalam lubang besar, disekitar lubang itu terdapat pohon
pisang. Rupanya pohon pisang itu sengaja ditanam orang. Terang saja,
melihat lubang sampah itu dibakar, pemilik pohon pisang marah besar
kepada Habib Kuncung. Habib Kuncung hanya diam hingga api itu padam.
Ternyata pohon pisang itu tak ada yang mati, bahkan kemudian malah lebih
bagus tumbuhnya. Karomahnya yang lain; setipa kali Habib Kuncung
memakai jasa tukang delman, delman itu pasti pulang lebih awal karena
setoran menjadi mudah tercukupi. Kusirnya juga akan pulang dengan uang
yang lebih dari biasanya. Makanya banyak sekali tukang delman yang
mengharap-harap agar delmannya dinaiki Habib Kuncung.
Sekalipun bersikap aneh dan selalu muncul
– menghilang, orang-orang mengenang Habib Kuncung sebagai pribadi
terhormat yang saleh. Hal-hal yang dilakukannya merupakan satu bentuk
ketawadukan. Beliau tak ingin orang memuja-muja dirinya dan punya
pikiran macam-macam. Beliau ingin dikenal sebagai orang biasa saja.
Begitu tawaduknya Habib Kuncung, beliau tak pernah mau menerima hadiah,
baik uang maupun pakaian. Beliau hanya ingin dapat tampil seperti biasa,
apa adanya. Sekalipun begitu tak ada orang yang meragukan kapasitas
Habib Kuncung sebagai Waliyullah.
Makanya setelah wafat beliau mendapat
kehormatan sedemikian rupa. Sekarang masih banyak orang menziarahi makam
Kramat Wali Allah Al Habib Ahmad Bin Alwi Al Haddad Habib Kuncung, di
Rawajati Timur II, Jakarta selatan. Orang dapat merenungkan kembali
mengenai hidup yang harus dijalani dengan tawaduk dan keshalehan yang
utuh. akhirnya pada tahun 1345 H tanggal 29 Syaban sekitar tahun 1926 M
pada usia 93 tahun beliau, Al Habib Ahmad Bin Alwi Al Haddad, kembali ke
rahmatullah dan di makamkan di pemakaman keluarga Al Haddad di Rawajati
Timur II, Jakarta Selatan dan setiap hari Minggu ketiga bulan Rabiul
Awal diadakan peringatan Maulid Nabi di pemakaman beliau bada Ashar.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala
merahmati kita semua dan membimbing kita untuk semakin dekat dan
mencitai para WaliAllah. Aamin..
Syekh Salim Bin Sumair Pengarang Kitab Safinatunnajah
Kehebatan Kitab Safinatun Naja
Biografi
Penulis
Penulis kitab
safinah adalah seorang ulama besar yang sangat terkemuka yaitu Syekh Salim bin
Abdullah bin Saad bin Sumair Al hadhrami. Beliau adalah seorang ahli fiqh dan
tasawwuf yang bermadzhab Syafi'i. Selain itu, beliau adalah seorang pendidik
yang dikenal sangat ikhlas dan penyabar, seorang qodhi yang adil dan zuhud
kepada dunia, bahkan beliav juga seorang politikus dan pengamat militer negaranegara
Islam. Beliau dilahirkan di desa Dziasbuh, yaitu sebuah desa di daerah
Hadramaut Yaman, yang dikenal sebagai pusat lahirnya para ulama besar dalam
berbagai bidang ilmu keagamaan.
Sebagaimana
para ulama besar lainnya, Syekh Salim memulai pendidikannya dengan bidang
Al-Qur'an di bawah pengawasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar,
yaitu Syekh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair. Dalam waktu yang singkat Syekh Salim
mampu menyelesaikan belajarnya dalam bidang Al-Qur'an tersebut, bahkan beliau
meraih basil yang baik dan prestasi yang tinggi. Beliau juga mempelajari bidang-bidang
lainnya seperti halnya ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir,
ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. Ilmu-ilmu tersebut beliau pelajari
dari para ulama besar yang sangat terkemuka pada abad ke-13 H di daerah
Hadhramaut, Yaman. Tercatat di antara nama-nama gurunya adalah:
- Syekh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair
- Syekh Abdullah bin Ahmad Basudan
- Habib Abdullah bin Toha Al-Haddar Al-Haddad.
- Syekh Al Faqih Ali bin Umar Baghuzah.
Selain sebagai
seorang pendidik yang hebat, Syekh Salim juga seorang pengamat politik Islam
yang sangat disegani, beliau banyak memiliki gagasan dan sumbangan pemikiran
yang menjembatani persatuan umat Islam dan membangkitkan mereka dari ketertinggalan.
Di samping itu beliau juga banyak memberikan dorongan kepada umat Islam agar
melawan para penjajah yang ingin merebut daerah-daerah Islam.
Pada suatu
ketika Syekh Salim diminta oleh kerajaan Kasiriyyah yang terletak di daerah
Yaman agar membeli peralatan perang tercanggih pada saat itu, maka beliau
berangkat ke Singapura dan India untuk keperluan tersebut. Pekerjaan beliau ini
dinilai sangat sukses oleh pihak kerajaan yang kemudian mengangkat beliau
sebagai staf ahli dalam bidang militer kerajaan. Dalam masa pengabdiannya
kepada umat melalui jalur birokrasi beliau tidak terpengaruh dengan cara-cara
dan unsur kedholiman yang merajalela di kalangan mereka, bahkan beliau banyak
memberikan nasehat, kecaman dan kritikan yang konstruktif kepada mereka.
Sebagai seorang
ulama terpandang yang segala tindakannya menjadi perhatian para pengikutnya,
maka perpindahan Syekh Salim ke pulau Jawa tersebar secara luas dengan cepat,
mereka datang berduyun-duyun kepada Syekh Salim untuk menimba ilmu atau meminta
do'a darinya. Melihat hal itu maka Syekh Salim mendirikan berbagai majlis ilmu
dan majlis dakwah, hampir dalam setiap hari beliau menghadiri majlismajlis
tersebut, sehingga akhirnya semakin menguatkan posisi beliau di Batavia, pada
masa itu. Syekh Salim bin Sumair dikenal sangat tegas di dalam mempertahankan
kebenaran, apa pun resiko yang harus dihadapinya. Beliau juga tidak menyukai
jika para ulama mendekat, bergaul, apalagi menjadi budak para pejabat.
Seringkali beliau memberi nasihat dan kritikan tajam kepada para ulama dan para
kiai yang gemar mondar-mandir kepada para pejabat pemerintah Belanda. Martin
van Bruinessen dalam tulisannya tentang kitab kuning (tidak semua tulisannya
kita sepakati) juga sempat memberikan komentar yang menarik terhadap tokoh kita
ini.
Oleh karena
itu, beliau memberikan fatwa-fatwa hukum yang seakan-akan mendukung program
dan rencana mereka. Hal itulah yang kemudian menyebabkan Syekh Salim terlibat
dalam polemik panjang dengan Sayyid Usman yang beliau anggap tidak konsisten di
dalam mempertahankan kebenaran. Entah bagaimana penyelesaian yang terjadi pada
waktu itu, yang jelas cerita tersebut cukup kuat untuk menggambarkan kepada
kita tentang sikap dan pendirian Syekh Salim bin Sumair yang sangat anti dengan
pemerintahan yang dholim, apalagi para penjajah dari kaum kuffar.
Walaupun Syekh
Salim seorang yang sangat sibuk dalam berbagai kegiatan dan jabatan, namun
beliau adalah seorang yang sangat banyak berdzikir kepada Allah SWT dan juga
dikenal sebagai orang yang ahli membaca Al Qur'an. Salah satu temannya yaitu
Syekh Ahmad Al-Hadhrawi dari Mekkah mengatakan: "Aku pernah melihat dan
mendengar Syekh Salim menghatamkan Al Qur'an hanya dalam keadaan Thawaf di
Ka'bah". Syekh Salim meninggal dunia di Batavia pada tahun 1271 H (1855
M).
Beliau telah
meninggalkan beberapa karya ilmiah di antaranya Kitab Safinah yaitu kitab yang
sudah kita terjemahkan ini. Al-Fawaid AI-Jaliyyah. Sebuah kitab yang mengecam
sistem perbankan konfensional dalam kaca mata syari'at
Sekilas Tentang
Kitab Safinah
- Kitab ini mencakup pokok-pokok agama secara terpadu, lengkap dan utuh, dimulai dengan bab dasardasar syari'at, kemudian bab bersuci, bab shalat, bab zakat, bab puasa dan bab haji yang ditambahkan oleh para ulama lainnya.
- Kitab ini disajikan dengan bahasa yang mudah, susunan yang ringan dan redaksi yang gampang untuk dipahami serta dihafal. Seseorang yang serius dan memiliki kemauan tinggi akan mampu menghafalkan seluruh isinya hanya dalam masa dua atau tiga bulan atau mungkin lebih cepat.
- Kitab ini ditulis oleh seorang ulama yang terkemuka dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, terutama fiqh dan tasawwuf. Yang sangat menarik, orang lebih mengenal nama kitabnya dari pada nama penulisnya. Hal yang demikian itu mungkin saja berkat keikhlasan dan ketulusan penulis.
- Kitab ini menjadi acuan para ulama dalam memberikan pengetahuan dasar agama bagi para pemula. Di Hadramaut Yaman, Madinah, Mekkah dan kota lainnya,para ulama me
- Kitab ini membicarakan hal-hal yang selalu menjadi kebutuhan seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari, sehingga semua orang merasa perlu untuk mempelajarinya.
-
Kitab Safinah ini dengan izin Allah SWT. dan atas kehendak-Nya telah tersebar secara luas di kalangan para pecinta ilmu fiqih terutama yang menganut Madzhab Imam Syafi'i ra. Kitab ini dikenal di berbagai negara baik Arab maupun Ajam seperti Yaman, Mekkah, Madinah, Jeddah, Somalia, Ethiopia, Tanzania, Kenya, Zanjibar, dan di berbagai belahan negara-negara Afrika.Namun demikian perhatian yang paling besar terhadap kitab ini telah diberikan oleh para ulama dan pecinta ilmu, yang hidup di semenanjung Melayu termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, dan negara-negara lainnya. - Kitab ini juga telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing seperti Indonesia, Melayu, Sunda, India, Cina, dan lainnya.
Dengan perhatian
khusus dan antusias tinggi para ulama telah berkhidmah (mengabdi) kepada kitab
Safinah sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka masing-masing. Banyak di
antara mereka yang menulis syarah (buku penjelasan) kitab Safinah, di antara
nama-nama kitab tersebut adalah:
- Kitab Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja (menyingkap tabir kegelapan dengan syarah kitab safinah). Kitab syarah ini adalah yang terbesar dan terluas dari yang lainnya, dipenuhi dengan masalah-masalah fiqih yang pokok dan mendasar. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama dari Jawa Barat yaitu Syekh Nawawi Banten. Beliau dilahirkan pada tahun 1230 H (1815M) dan berangkat ke Mekkah untuk mencari ilmu ketika masih kecil. Setelah mendalami ilmu agama, di kota suci Mekkah, beliau juga belajar dari para ulama di kota suci Madinah, Syiria, dan Mesir. Beliau mengajar di Masjidil Haram Mekkah selama puluhan tahun sampai meninggal dunia pada tahun 1314 H (1897 M)
-
Kitab Durrotu Tsaminah Hasyiyah ala Safinah (Permata yang mahal dalam keterangan safinah). Kitab ini sangat penting untuk dimiliki oleh para pecinta ilmu, karena dilengkapi dengan dalil-dalil yang bersumber dari AlQur'an dan Hadis Nabsaw. Kitab ini ditulis oleh Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Hadrawi, seorang ulama dari Mekkah. Kitab ini ditulis pada awalnya di kota Musowwi' Ethiopia, atas petunjuk gurunya yaitu Syekh Muhammad Asy-Syadzili Maroko dan diselesaikan di kota Thaif. Penulis syarah ini dilahirkan di Iskandariah Mesir pada tahun 1252 H (1837 M) dan meninggal dunia di Mekkah pada tahun 1327 H (1909 M). - Kitab Nailur Raja Syarah Safinah Naja (Meraih harapan dengan syarah safinah), Syarah ini sangat dipenuhi dengan ilmu, hampir menjadi kebutuhan setiap pengajar yang akan menerangkan kitab Safinah. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama besar dari Hadramaut Yaman, yaitu Sayyid Al-Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri. Beliali dilahirkan di kota Tarim Hadramaut pada tahun 1312 H (1895 M), dan di sana pula beliau mempelajari ilmu agama sehingga tumbuh berkembang menjadi ulama yang terkemuka. Beliau sangat dicintai gurunya yaitu Syaikhul Islam, Sayyid Abdullah bin Umar Asy-Syatiri, ulama besar di zamannya. Penulis syarah in' meninggal dunia pada usia yang masih muda, yaitu sebelum beliau berumur 50 tahun.
- Kitab Nasiimul Hayah Syarah Safinall Najah. Syarah ini hampir sama dengan syarah yang ditulis oleh Syekh Nawawi Banten, tetapi memiliki tambahan dengan banyaknya dalil dan perincian yang teliti. Kitab ini ditulis oleh Syekh Al-Faqih Al-Qodhi Abdullah bin Awad bin Mubarok Bukair, seorang ulama kenamaan yang ahli dalam bidang fiqih di Hadramaut Yaman. Beliau dilahirkan di desa Ghail Bawazir tahun 1314 H (1897 M). Sejak kecil beliau sangat gemar mendalami ilmu syari'at dari berbagai ulama di antaranya adalah Al-Imam Habib All bin Muhammad Al-Habsyi, Syekh Umar bin Mubarok Badubbah, Syekh Umar bin Salim Bawazir dan lain-lain. Setelah tersebar keilmuannya, beliau menjadi qodhi di Mukalla sejak tahun 1351 H (1933 M) sampai tahun 1386 H (1967 M). Syekh Abdullah meninggal dunia pada tahun 1399 H (1979 M) di kota Mukalla setelah memberikan pengabdiannya yang tulus kepada umat Islam
-
Kitab Innarotut tDuja Bitanlwiril Hija Syarah Safinah Naja. Salah satu syarah yang sangat otentik dan terpercaya karena dipenLthi dengan argumentasi dari Al-Qur'an dan had's. Yang unik, syarah ini ditulis oleh salah satu ulama dari Madzhab Maliki yaitu Syekh Muhammad bin Ali bin Husein Al-Maliki, seorang ulama yang sangat ahli dalam berbagai ilmu agama, Beliau juga sangat terpandang dalam bidang ilmu bahasa dan sastra Arab. Beliau dilahirkan di Mekkah tahun 1287 H 0 870 M) dan meninggal dunia tahun 1368 H (1949 M). Puncak kemasyhurannya adalah ketika beliau diangkat sebagai Mufti Madzhab Maliki di kota suci Mekkah A1-Mukarromah. Tokoh kita ini juga sangat produktif, koleksi karyanya lebih dari 30 kitab, di antaranya adalah syarah safinah tersebut.
Dari kalangan
para ulama ada pula yang tertarik menjadikan kitab safinah ini dalam bentuk
syair-syair yang digubah dengan mudah dan indah, tercatat di antara nama-nama
mereka adalah:
- Sayyid Habib Abdullah bin All bin Hasan AI-Haddad.
- Sayyid Habib Muhammad bin Ahmad bin Alawy Ba~agil.
- Kyai Syekh Shiddiq bin Abdullah, Lasem.
- Syekh Muharnrnad bin All Zakin Bahanan.
- Sayyid Habib Ahmad Masyhur bin Thoha Al-Haddad.
Dari tulisan di
atas, kiranya kita telah mampu memahami betapa penting kitab safinah ini, untuk
menjadi pijakan bag] para pemula dalam mempelajari ilmu agama, sebagaimana
namanya, yaitu safinah yang berarti "perahu" dia akan menyelamatkan
para pecintanya dari gelombang kebodohan dan kesalahan dalam beribadah kepada
Allah SWT. Amin.
Penulis : KH. Ust, Yahya Wahid Dahlan
sumber : http://ahmadhaitami.blogspot.co.id/2014/01/syekh-salim-bin-sumair-habib-usman.html
sumber : http://ahmadhaitami.blogspot.co.id/2014/01/syekh-salim-bin-sumair-habib-usman.html
Minggu, 06 September 2015
AMALAN BACAAN SURAT YASIN DAN TAWASSUL
Amalan bacaan Yasin dan tawassul untuk menjalin silaturahmi dengan ahli kubur
Rasulullah telah bersabda bahwa akan muncul orang-orang yang
mengikuti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, salaf yang
bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti
Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri,
salah satu ciri-cirinya adalah menganggap mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham) telah rusak maka sesungguhnya mereka sendri yang
rusak.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab;
Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu
Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatkan dari
jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia
berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari
Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah)
manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari
mereka. (HR Muslim 4755)
Pada hakikatnya mereka yang melarang (mengharamkan) hadiah bacaan
Yasin setiap malam Jum’at maka ketika mereka di alam barzakh (alam
penantian) yang sangat lebih lama dari pada alam dunia dalam kesendirian
karena tidak ada yang bersilaturahmi dan karena tidak dikenal sehingga
menyendiri (mengasingkan diri) dalam arti menyempal keluar dari
mayoritas ahli kubur yang muslim (as-sawadul a’zham)
Orang-orang yang melarang (mengharamkan) kebiasaan membaca Yasin di
malam Jum’at adalah contoh orang-orang yang menghukumi sebuah kebiasaan
berdasarkan Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar,
maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Memang ada hadits yang telah terbukukan dalam kitab hadits seperti
sunnah Rasulullah membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at namun bukan
berarti terlarang membaca surat lainnya
Dari Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada
malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia
dan Baitul ‘atiq.” (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan
al-Nasai dan Al-Hakim)
Dalam perkara kebiasaan yang termasuk ibadah ghairu mahdhah berlaku
kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u
sooriful ibahah” maksudnya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang
meliputi perkara muamalah, kebiasaan dan adat hukum asalnya adalah boleh
saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada
dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Contohnya ada seseorang membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1
Juz tidak akan masuk neraka karena tidak melanggar larangan Allah dan
RasulNya.
Sedangkan contoh pada mereka, ada mereka yang mempunyai kebiasaan
yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maupun para Sahabat seperti
membiasakan daurah atau taklim setiap hari minggu hukum asalnya adalah
mubah sehingga tidak akan masuk neraka karena mereka tidak melanggar
larangan Allah dan RasulNya namun hukum asal berubah dari mubah menjadi
haram kalau dalam daurah atau taklim mereka gemar mengkafirkan umat
Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka
Para ulama telah memberi batasan bahwa perkara kebiasaan apapun yang
tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara
jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah, perkara yang
dibolehkan sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/
Dasar hukum yang membolehkan kebiasaan mengkhususkan surat-surat tertentu
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu
membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al
Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya.
Ada orang yang mengadukannya
pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu?
Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas.
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa
adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk
surga” (Shahih Al Bukhari Hadits No 774)
Al Hujjatul Islam Al Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mensyarah hadits
ini, beliau berkata: “Hadis ini adalah dalil diperbolehkannya memilih
surat-surat tertentu dari sebagian al-Quran (yang dia sukai) berdasarkan
kemauannya sendiri (untuk diamalkan) dan memperbanyak membacanya, dan
hal seperti ini tidaklah dianggap mengabaikan surat yang lain (maksudnya
hal itu tidak bisa dikatakan bahwa dia membeda-bedakan kalamullah
Subhanahu wa Ta’ala) ” (Fathul Bari bi Syarah Shahih Bukhari 3/150)
Dasar hukum yang membolehkan mengkhususkan waktu
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi
shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari
sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan,
sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam
Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)
Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata:
“Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan
diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang
baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan
bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan
Masjid Nabawi) tidaklah haram.
(Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)
Ada larangan berkenaan dengan hari Jum’at adalah seperti,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Janganlah salah
seorang diantara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali ia berpuasa
sebelum atau sesudanya” (HR. Muslim no. 1144).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, hari Jumat adalah hari raya. Karena
itu, janganlah kalian jadikan hari raya kalian ini sebagai hari untuk
berpuasa, kecuali jika kalian berpuasa sebelum atau sesudah hari Jumat.”
(H.r. Ahmad dan Hakim)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk
tahajud dan meninggalkannya di malam yang lain. Jangan pula
mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa, kecuali dalam rangkaian
puasa kalian.” (H.r. Muslim)
Hadits larangan puasa di hari Jum’at adalah terkait hari Jumat adalah hari raya namun hukumnya makruh tidak sampai haram.
Diharamkan berpuasa pada 5 hari: dua hari raya (Idul Fithri dan Idul Adha); tiga hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).
Dimakruhkan berpuasa pada hari meragukan (yaumusy syakk) kecuali jika
berpapasan dengan kebiasaan puasanya atau bersambung dengan hari
sebelumnya.
Sedangkan hadits terkait sholat tahajud adalah melarang kita
mengkhususkan sholat tahajud pada malam Jum’at dan mengharamkan pada
malam lainnya karena hal tersebut termasuk ghuluw (melampaui batas)
dalam beragama atau bid’ah dalam urusan agama yakni mewajibkan sesuatu
yang tidak diwajibkanNya atau melarang sesuatu yang tidak dilarangNya
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya
dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas
(ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak
dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau
mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang
mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra
Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati
orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka
mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada
mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari
keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan
yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di
antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.
(QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau
tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan
tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang
tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan
yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi
mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu?
Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di
antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga
tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang
siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun
perkataan atau pendapat ulama salaf (terdahulu) sehingga mereka dapat
terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas
(ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu
sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak
diharamkanNya dan sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan
yang tidak diwajibkanNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/menjauh-darinya/
Kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya yakni
mengharamkan atau melarang hanya karena pertanyaan saja bukan
berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang
paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya
adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak
diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu
tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR
Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Hal yang harus kita ingat selalu bahwa dalam perkara kewajiban maupun
larangan adalah perkara agama yang berasal dari Allah Azza wa Jalla
bukan menurut akal pikiran manusia
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal
pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan
larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
(QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah
semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak
ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu
yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali
perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika
mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni
hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya
hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Jadi mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah termasuk bid’ah dalam urusan agama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang
membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak
diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih
disukai Iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan
sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak menyadarinya
sehingga mereka sulit bertaubat.
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah
merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki
oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang melakukan bid’ah
dalam urusan agama..
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata
bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih
disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat
itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para
rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS
at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah
para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai
tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak
menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta
itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan
jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka
mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para
rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang
halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka
mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.”
(Riwayat Tarmizi)
Begitupula para Imam Mujtahid telah mengingatkan untuk berhati-hati
dalam berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara), hindarilah
mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil karena perbuatan
mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah
termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa
yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan
padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu
tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku
memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia
ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba
itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu
yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya”. (HR Muslim 5109)
Apalagi mereka menghukumi sebuah kebiasaan hanya bermodalkan hadits-hadits yang terbukukan dalam kitab-kitab hadits.saja
Hal yang perlu kita ingat, banyak hadits-hadits yang belum terbukukan
karena hadits-hadits yang terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah
tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang yakni
hadits-hadits yang kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah
paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya
Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima
sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu
semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika
yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan
mengkafirkanku dan menggantungku”
Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan
orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah Ilmu
seperti “Hai’atil Maknun” yang diterima oleh para ulama Allah
sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/ulama-allah/
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari
Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk
menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang
kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan
kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila
ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku
(engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Hadits-hadits yang tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan
orang dan hanya disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sanad
ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah adalah seperti
hadits terkait dengan ruh
Kaitan malam atau hari Jum’at adalah dalam rangka menyambung tali silaturahmi dengan ahli kubur
Pada suatu waktu Hasan al Qassab dan kawannya datang berziarah ke
kuburan muslimin. Setelah mereka memberi salam kepada ahli kubur dan
mendoakannya, mereka kembali pulang. Di perjalanan ia bertemu dengan
salah satu temannya dan berkata kepada Hasan al-Qassab : “Ini hari
adalah hari Senin. Coba kamu bersabar, karena menurut Salaf bahwa ahli
kubur mengetahui kedatangan kita di hari Jumat dan sehari sebelumnya
atau sehari sesudahnya”
Aal-Imam Sofyan al-Tsauri.rhm
telah diberitahukan dari al-Dhohhak bahwa siapa yang berziarah kuburan
pada hari Juma’t dan Sabtu sebelum terbit matahari maka ahli kubur
mengetahui kedatangannya. Hal itu karena kebesaran dan kemuliaan hari
Juma’t.
Diriwayatkan salah satu dari keluarga Asem al Jahdari pernah bermimpi
melihatnya dan berkata kepadanya : “ Bukankan kamu telah meninggal
dunia? Dan dimana kamu sekarang? “ Asem berkata : “ Saya berada di
antara kebun-kebun sorga. Saya bersama teman-teman saya selalu berkumpul
setiap malam Juma’t dan pagi hari Juma’t di tempat Abu Bakar bin
Abdullah al Muzni. Di sana kita mendapatkan berita-berita tentang kamu
di dunia. Kemudian saudaranya yang bermimpi bertanya : “Apakan kalian
berkumpul dengan jasad-jasad kalian atau dengan ruh-ruh kalian? “ Maka
mayyit itu ( Asem al-Jahdari ) berkata : “ Tidak mungkin kami berkumpul
dengan jasad-jasad kami karena jasad- jasad kami telah usang. Akan
tetapi kami berkumpul dengan ruh-ruh kami “.. Kemudian ditanya : “Apakah
kalian mengetahui kedatangan kami ? “. Maka dijawab : “ Ya!.. Kami
mengetahui kedatangan kamu pada hari Juma’t dan pagi hari Sabtu sampai
terbit matahari “. Kemudan ditanya : “ Kenapa tidak semua hari-hari kamu
mengetahui kedatangan kami? “. Ia (mayyit) pun menjawab : “ Ini adalah
dari kebesaran dan keafdholan hari Juma’t “.
Ibunya Utsman al Tofawi disaat datang sakaratul maut, berwasiat
kepada anaknya : “Wahai anakku yang menjadi simpananku di saat datang
hajatku kepadamu. Wahai anakku yang menjadi sandaranku disaat hidupku
dan matiku. Wahai anakku janganlah kamu lupa padaku menziarahiku setelah
wafatku“. Setelah ibunya meninggal dunia, ia selalu datang setiap hari
Juma’t kekuburannya, berdoa dan beristighfar bagi arwahnya dan bagi
arwah semua ahli kubur. Pernah suatu hari Utsman al Tofawi bermimpi
melihat ibunya dan berkata : “Wahai anakku sesunggunya kematian itu
suatu bencana yang sangat besar. Akan tetapi, Alhamdulillah, aku
bersyukur kepada-Nya sesungguhnya aku sekarang berada di Barzakh yang
penuh dengan kenikmatan. Aku duduk di tikar permadani yang penuh dengan
dengan sandaran dipan-dipan yang dibuat dari sutera halus dan sutera
tebal. Demikianlah keadaanku sampai datangnya hari kebangkitan”..
Utsman al Tofawi bertanya : “ Ibu!.. Apakah kamu perlu sesuatu dari ku ? “
Ibunya pun menjawab : “Ya!..Kamu jangan putuskan apa yang kamu telah lakukan untuk menziarahiku dan berdoa bagiku. Sesungguhnya aku selalu mendapat kegembiraan dengan kedatanganmu setiap hari Juma’t. Jika kamu datang ke kuburanku semua ahli kubur menyambut kedatanganmu dengan gembira“.
Utsman al Tofawi bertanya : “ Ibu!.. Apakah kamu perlu sesuatu dari ku ? “
Ibunya pun menjawab : “Ya!..Kamu jangan putuskan apa yang kamu telah lakukan untuk menziarahiku dan berdoa bagiku. Sesungguhnya aku selalu mendapat kegembiraan dengan kedatanganmu setiap hari Juma’t. Jika kamu datang ke kuburanku semua ahli kubur menyambut kedatanganmu dengan gembira“.
Pada zaman paceklik, Bisyir bin Mansur.rhm
selalu datang ke kuburan muslimin dan menghadiri sholat jenazah. Di
sore harinya seperti biasa dia berdiri di muka pintu kuburan dan berdoa :
“Ya Allah berikan kepada mereka kegembiraan di saat mereka merasa
kesepian. Ya Allah berikan kepada mereka rahmat di saat mereka merasa
menyendiri. Ya Allah ampunilah dosa-dosa mereka dan terimalah amal-amal
baik mereka “. Basyir berdoa di kuburan tidak lebih dari doa-doa yang
tersebut diatas. Pernah satu hari, dia lupa tidak datang ke kuburan
karena kesibukannya dan tidak berdoa sebagaimana ia berdoa setiap hari
untuk ahli kubur.. Pada malam harinya dia bermimpi bertemu dengan semua
ahli kubur yang selalu di ziarahinya. Mereka berkata : “Kami terbiasa
setiap hari diberikan hadiah darimu dengan doa-doa. maka janganlah kamu
putuskan doa-doa itu“.
al-Fadhel bin Muaffaq disaat ayahnya meninggal dunia, sangat sedih
sekali dan menyesalkan kematiannya. Setelah dikubur, ia selalu
menziarahinya hampir setiap hari. Kemudian setelah itu mulai berkurang
dan malas karena kesibukannya. Pada suatu hari dia teringat kepada
ayahnya dan segera menziarahinya. Disaat ia duduk disisi kuburan
ayahnya, ia tertidur dan melihat seolah-olah ayahnya bangun kembali dari
kuburan dengan kafannya. Ia menangis saat melihatnya. Ayahnya berkata :
“wahai anakku kenapa kamu lalai tidak menziarahiku? Al-Fadhel berkata :
“ Apakah kamu mengetahui kedatanganku? ” Ayahnya pun menjawab : “ Kamu
pernah datang setelah aku dikubur dan aku mendapatkan ketenangan dan
sangat gembira dengan kedatanganmu begitu pula teman-temanku yang di
sekitarku sangat gembira dengan kedatanganmu dan mendapatkan rahmah
dengan doa-doamu”. Mulai saat itu ia tidak pernah lepas lagi untuk
menziarahi ayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorangpun
yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk
mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia
berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam
kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorang pun
melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di
dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia
mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu
Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Dari Abu Hurairah , Rasulullah bersabda: Tidak seorang pun yang
memberi salam kepadaku kecuali Allah akan menyampaikan kepada ruhku
sehingga aku bisa menjawab salam itu.(HR. Abu Dawud)
Oleh karenanya bagi umat Islam yang tidak lagi memiliki waktu untuk
menziarahi ahli kubur setiap hari Jum’at maka untuk menjaga tali
silaturahmi dapat mengirimi hadiah bacaan setiap malam Jum’at.
Jadi mereka yang melarang (mengharamkan) hadiah bacaan Yasin setiap
malam Jum’at maka ketika mereka di alam barzakh (alam penantian) yang
sangat lebih lama dari alam dunia dalam kesendirian karena tidak ada
yang bersilaturahmi.
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bacalah surat Yaasiin
untuk orang yang mati di antara kamu.” (Riwayat Imam Abu Dawud; kitab
Sunan Abu Dawud, Juz III, halaman 191)
Al-Faqih al-Hanbali al-Ushuli al-Mutqin al-‘allamah Qadhi qudhah,
Ibnu an-Najjar berkomentar : “Hadits tersebut mencangkup orang yang
sekarat maupun sudah wafat, baik sebelum dimakamkan atau pun sudah
dimakamkan. Setelah dimakamkan, maka itu adalah makna hadits secara
hakikat (dhahir) dan sebelum dimakamkan, maka itu makna hadits secara
majaz “ (Mukhtashar at-Tahrir syarh al-Kaukab al-Munir : 3/193)
Ada pula orang-orang yang menyampaikan potongan pendapat Imam Syafi’i
~rahimahullah bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat
sehingga pendapat tersebut menjadi pendapat masyhur
Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan
Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang
di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar
orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an
berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah
mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang
wafat.
Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak
lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai.
Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta
maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak
memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan
kamu.” (HR Muslim 4651).
Berkata Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz : “ Adapun Membaca
Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara
sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya
sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji ”. (Syarah aqidah Thahawiyah
hal. 457).
Berikut penjelasan dari para pengikut Imam Syafi’i apa yang dimaksud dengan pendapat masyhur Imam Syafi’i tentang pahala bacaan.
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam Fathul Wahab
menyampaikan penjelasan dari Imam An Nawawi : “Dan apa yang dikatakan
sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak
di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau
meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ;
“yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits
berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan
(ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara
yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”.
(Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari
asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila
pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak
meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj
lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)
Jadi kesimpulannya Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai
pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
Berkata Muhammad bin ahmad almarwazi : “ Saya mendengar Imam Ahmad
bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah
Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya
untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada
mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah
selesai dengan: “ Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca
ini kepada si fulan …” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
Imam Nawawi berkata dalam Majmu’nya : “Dan disunnahkan bagi peziarah
kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada
mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a
itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah
dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula
membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya,
keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah
disepakati oleh pengikut-pengikutnya”. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab,
V/258)
Imam Nawawi berkata “Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya
(Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426]
li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i
(Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an
disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal
Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar
–radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah
disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah
al-Mu’alla bin Abdurrahman
Ada pula mereka yang menganggap sedekah bacaan Al Qur’an adalah
pekerjaan yang sia-sia. Pendapat mereka amalan seperti itu tidak akan
sampai kepada ahli kubur karena salah memahami sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam,
Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah
segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfa’at baginya dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (HR
Muslim 3084)
Apa yang dimaksud “terputus segala amalannya” ?
Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu , terputus amalnya
maknanya adalah setiap manusia setelah meninggal dunia maka kesempatan
beramalnya sudah terputus atau apapun yang mereka perbuat, seperti
penyesalan atau minta ampun ketika mereka memasuki alam barzakh tidak
akan diperhitungkan lagi amalnya kecuali amal yang masih diperhitungkan
terus adalah apa yang dihasilkan dari amal yang mereka perbuat ketika
masih hidup seperti,
1. Sedekah jariyah
2. Ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan yang disampaikan kepada orang lain
3. Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendoakannya
2. Ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan yang disampaikan kepada orang lain
3. Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendoakannya
Hadits tersebut tidak dikatakan, “inqata’a intifa’uhu”, “terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat”.
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni
orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit maka akan sampailah pahala
orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit.
Sedangkan firman Allah Ta’ala , wa-an laysa lil-insaani illaa maa
sa’aa, “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya” (QS An Najm [53]:39)
Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang
dengan sebab usaha orang lain. Ayat itu hanya menafikan “kepemilikan
seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya
mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan
memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya atau
mensedekahkannya kepada orang lain dan begitupula jika ia mau, dia boleh
menetapkannya untuk dirinya sendiri.
Jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”.
Sesunggunya ayat (QS An Najm [53]:39) terkait kuat dengan ayat sebelumnya yakni tentang dosa bukan tentang pahala.
allaa taziru waaziratun wizra ukhraa, “(yaitu) bahwasanya seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS An Najm [53]:38)
Begitulah cara kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang kaum Zionis
Yahudi menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman)
terhadap kaum muslim dengan menyebarluaskan potongan-potongan ayat-ayat
Al Qur’an dan Hadits untuk menimbulkan perpecahan di antara kaum muslim.
Jadi sesungguhnya dalam bentuk lengkapnya adalah
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat
(kepadanya) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna. dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala
sesuatu)” (QS An Najm [53]:38 s/d 42)
Kaum Yahudi sudah berhasil mensesatkan kaum Nasrani bahwa seseorang dapat menanggung atau menebus dosa orang lain.
Padahal sudah dijelaskan
” Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut
menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung
kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan
kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya” (Jehezkiel 18:20)
Dijelaskan bahwa kebaikan (pahala) dan kefasikan (dosa) adalah milik orang yang melakukannya
Kebaikan (pahala) dapat diberikan kepada orang lain namun dosa tidak dapat diberikan atau ditanggung oleh orang lain
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al Najm [53]:38)
“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain” (QS Al Israa [17]:15)
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat
menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu
tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa’at
kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” (QS Al Baqarah
[2]:123)
Begitupula dalam syarah thahawiyah hal. 456 bahwa
**** awal kutipan ****
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan ” (QS Yaa Siin [36]:54)
Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena
pangkal ayat tersebut adalah : “Pada hari dimana seseorang tidak akan
didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali
terhadap apa yang mereka kerjakan ”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami
bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan
orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab
amal kebaikan orang lain.
***** akhir kutipan *****
Bagi yang menghadiahkan bacaan kepada ahli kubur tidak mengurangi pahala atau manfaat untuk dirinya sendiri.
Imaam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad beliau dari
Safwaan bahwa ia berkata, “Para ulama biasa berkata bahwa jika Yasin
dibaca oleh orang yang tengah maut, Allah akan memudahkan maut itu
baginya.” (Lihat Tafsiir Ibn Katsir juz 3 halaman 571)
Sayyiduna Jund ibn Abdullah radiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membaca
surah Yasin pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah,
dosa-dosanya akan diampuni.” (Muwattha’ Imaam Maalik).
Imaam ibn Hibbaan mengklasifikasikan hadits ini sebagai Sahiih, lihat
Sahiih ibn Hibbaan Juz 6 halaman 312, ( lihat juga at-Targhiib juz 2
halaman 377).
Riwayat serupa oleh Sayyiduna Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga
telah dicatat oleh Imam Abu Ya’ala dalam Musnad beliau dan Hafiz ibn
Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (Sanad) sebagai
“Baik” (Hasan) (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 halaman 570).
Berdasarkan riwayat ini, Allamah Munaawi rahmatullah ‘alaih telah
menganalisis bahwa barangsiapa hendak membaca Surah Yasin di pagi hari,
juga akan diampuni dosanya, Insya Allah. (Lihat kitab Faydhul Qadiir,
juz 6, halaman 259).
Sayyiduna ibn ‘Abbaas radiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa
membaca Yasiin di pagi hari, pekerjaannya di hari itu akan dimudahkan
dan barangsiapa membacanya di akhir suatu hari, tugas-tugasnya hingga
pagi hari berikutnya akan dimudahkan pula.” (Sunaan Daarimi, juz 2,
halaman 549).
Riwayat serupa juga dicatat oleh Imaam Daarimi dari Attaa’ ibn Abi Rabah.
Sayyiduna Ma’aqal ibn Yassaar radiyallau ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yasin adalah kalbu
dari Al Quran. Tak seorangpun yang membacanya dengan niat menginginkan
akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang
yang wafat di antaramu.” (Sunan Abu Dawud).
Imaam Haakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai sahih di Mustadrak
al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376.
Hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa membaca Yasin termasuk
menyambung tali silaturahmi dengan Rasulullah karena Yasin adalah nama
panggilan kesayangan Allah pada kekasihNya
Surah Yasin adalah surah yang menempati urutan ke 36 dalam mushaf
Al-Qur’an. Nama ini diambil dari ayat permulaan surah ini yang terdiri
dari huruf singkatan (muqaththa’ah) ya dan sin.
Ya adalah huruf untuk memanggil (nidaa) artinya wahai dan sin adalah
singkatan dari kata insan artinya manusia, maksudnya adalah manusia
sempurna.
Manusia sempurna yang dituju oleh huruf muqaththa’ah ini adalah
Sayyidina Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam karena beliaulah
seorang nabi yang telah menerirma wahyu Al-Qur’an, kitab suci Allah yang
sempurna, sehingga seluruh kehidupan beliau berada di atas jalan yang
lurus benar.
Oleh karenanya Rasulullah mencintai bangsa Indonesia yang sering
memanggil-memangil Beliau dengan nama panggilan kesayangan Allah
sebagaimana contoh yang terkandung dalam sholawat Badar
Sebagaimana yang kami sampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/02/sholawat-badar/
ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Kyai ‘Ali
Manshur, cucu Kyai Haji Muhammad Shiddiq , anak saudara / keponakan dari
Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq bin ‘Abdullah bin Saleh bin Asy`ari
bin Muhammad Adzro`i bin Yusuf bin Sayyid ‘Abdur Rahman (Mbah Sambu) bin
Sayyid Muhammad Hasyim bin Sayyid ‘Abdur Rahman BaSyaiban bin Sayyid
‘Abdullah bin Sayyid ‘Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin
Sayyid Abu Bakar BaSyaiban bin Sayyid Muhammad AsadUllah bin Sayyid
Hasan at-Turabi bin Sayyid ‘Ali bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad Ba
‘Alawi al-Husaini menuliskan sholawat badar yang memuat salah satu nama
panggilan kesayangan Allah Ta’ala kepada Sayyidina Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam.
Shalatullah salamullah, ‘ala Thaha Rasulillah
Shalatullah salamullah, ‘ala Yasin Habibillah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Thaaha, Rasulullah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Yasin, Rasulullah
(Thaha dan Yaasiin adalah panggilan / gelar untuk Rasulullah)
Shalatullah salamullah, ‘ala Yasin Habibillah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Thaaha, Rasulullah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Yasin, Rasulullah
(Thaha dan Yaasiin adalah panggilan / gelar untuk Rasulullah)
Hal yang serupa dalam ceramah Syaikh KH. Muhyiddin Abdul Qadir al-Manafi sebagaimana yang dikabarkan pada http://talimulquranalasror.blogspot.com/2014/03/rasulullah-pernah-menyebut-bangsa.html
******* awal kutipan *******
Tatkala salah satu guru Prof. DR. al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dan Al-‘Allamah al-‘Arif billah Syaikh Utsman bersama rombongan ulama lainnya pergi berziarah ke Makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba beliau diberikan kasyaf (tersingkapnya hijab) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Di belakang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sangat banyak
orang yang berkerumunan. Ketika ditanya oleh guru as-Sayyid Muhammad
al-Maliki itu: “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang itu?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menjawab: “Mereka adalah umatku yang sangat aku cintai.”
Dan diantara sekumpulan orang yang banyak itu ada sebagian kelompok
yang sangat banyak jumlahnya. Lalu guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki
bertanya lagi: “Ya Rasulullah, siapakah mereka yang berkelompok sangat
banyak itu?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian menjawab: “Mereka
adalah bangsa Indonesia yang sangat banyak mencintaiku dan aku mencintai
mereka.”
Akhirnya, guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu menangis terharu dan
terkejut. Lalu beliau keluar dan bertanya kepada jama’ah: “Mana orang
Indonesia? Aku sangat cinta kepada Indonesia.”
****** akhir kutipan ******
Bangsa Indonesia yang dikenal dan dicintai oleh Rasulullah adalah bagi mereka yang mencintai Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, salah
seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia
cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR.
Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan
Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Bangsa Indonesia yang mencintai Rasulullah sehingga dikenal dan
dicintai oleh Rasulullah adalah bagi mereka yang gemar bersholawat ,
tidak sebatas sholawat ketika sholat saja.
Cara mendekati Rasulullah adalah dengan sering “mendatangi” Beliau,
salah satunya dengan sering bertawasul dengannya yakni bersholawat
kepadanya.
Al Habib Umar bin Hafidz menasehatkan bahwa “tanda kerinduan kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sungguh-sungguh di dalam
diri seseorang akan menjadikannya benar-benar mengikuti Rasulullah dan
banyak bersholawat padanya”
Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda : ”Orang yang paling dekat denganku nanti pada hari
kiamat, adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat untukku” (HR.
Turmudzi)
Hujjatul Islam Al Ghazali meriwayatkan
***** awal kutipan *****
Ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak mau menoleh kepadanya, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?” Beliau menjawab, “Tidak.” Dia bertanya lagi, “Lalu sebab apakah engkau tidak memandang kepadaku?” Beliau menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu.” Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa sesungguhnya engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.”
Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, setiap hari 100 kali. Dia selalu melakukan itu, hingga dia melihat Rasululah Shallallahu alaihi wasallam lagi dalam mimpinya. Dalam mimpinya tersebut Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sekarang aku mengenalmu dan akan memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi orang yang cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dengan memperbanyak shalawat kepada beliau…
***** akhir kutipan *****
Pada riwayat yang lain seorang Sahabat suatu hari kepada Rasulullah
Muhammad shallallahu alaihi wasallam berkata “Ya Rasulullah, sungguh
engkau lebih kucintai daripada diriku dan anakku. Apabila aku berada
dirumah, lalu kemudian teringat kepadamu, maka aku tak akan tahan
meredam rasa rinduku sampai aku datang dan memandang wajahmu. Tapi
apabila aku teringat pada mati, aku merasa sangat sedih, karena aku tahu
bahwa engkau pasti akan masuk ke dalam surga dan berkumpul bersama
nabi-nabi yang lain. Sementara aku apabila ditakdirkan masuk ke dalam
surga, aku khawatir tak akan bisa lagi melihat wajahmu, karena derajatku
jauh lebih rendah dari derajatmu.”
Mendengar kata-kata sahabat yang demikian mengharukan hati itu, Nabi
shallallahu alaihi wasallam tidak sembarang memberikan jawaban sampai
malaikat Jibril turun dan membawa firman Allah yang artinya,
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Rasulullah bersabda “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya (pada hari kiamat)”. (HR Bukhari 5702)
Begitupula bertawassul adalah dalam rangka menyambung tali silaturahmi dengan ahli kubur
Tawassul itu serupa dengan orang yang membuat skripsi atau karya
tulis yang memulainya dengan salam dan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung sehingga skripsi atau
karya tulis dapat terselesaikan.
Tawassul adalah salam dan ucapan terima kasih kepada orang-orang
shalih baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup sehingga agama
Islam sampai kepada kita
Pada hakikatnya bertawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah
satu pintu (misykat) dari pintu-pintu untuk menghadap Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Jadi maksud sesungguhnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi bertawassul adalah adab dalam berdoa sebelum inti doa yang
dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebagaiamana yang telah
disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/02/tawassul-salam-syukur/
Bertawasul yang paling sederhana adalah dengan amal kebaikan (amal
sholeh) seperti memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sholawat kepada
RasulNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang
di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan
menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu
alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR
Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya
dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu
alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab
dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa
itu kepada pemohonnya“.
Umat Islam setiap hari selalu bertawassul dengan Rasulullah yang
sudah wafat dengan mengucapkan “ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA
RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH,”
Sejak dahulu kala, para Sahabat bertawassul dengan penduduk langit
yakni para malaikat dan kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat)
disisiNya yakni orang-orang shalih baik yang sudah wafat maupun yang
masih hidup
Pada awalnya para Sahabat bertawassul dengan ucapan
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
Namun kemudian Rasulullah menyederhanakan ucapan tawassulnya dengan ucapan
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih)
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih)
Kemudian Rasulullah menjelaskan
“Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“
Oleh karenanya berdoa setelah sholat lebih mustajab karena sholat
berisikan pujian kepada Allah, bertawassul dengan bershalawat kepada
Nabi -shallallahu alaihi wasallam dan tawassul dengan hamba-hamba yang
shalih baik di langit maupun di bumi
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan
kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata;
telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika
kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU
‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA
FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan
terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau
menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah
adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat
(tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU
WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA
BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN,
(penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga
keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi.
Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih).
Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh
hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu
melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN
‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah
selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia
boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Begitupula dalam susunan doa setelah sho
lat, sebelum doa inti, kita
bertawassul dengan memohonkan ampunan kepada kaum muslim yang telah
wafat.
“Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal
muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”
“Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua
muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang
telah mati.”
Sebaliknya penduduk langit mendoakan penduduk dunia yang menjalin tali silaturahmi dengan mereka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik
buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan
mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku.
Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan
keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini
diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati
‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya
dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian
yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka
mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka
berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau
memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah
kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Langganan:
Komentar (Atom)

